Saturday, April 7, 2007

ISTANA DI KAKI LANGIT



Oleh: Ayi Budihardjo

Istana batu, begitu aku menyebutnya. Berdiri kokoh dan megah di atas bukit sejak sebulan lalu. Sebagian atap dan cerobong asapnya yang seperti hampir menyentuh langit, terlihat jelas dari halaman rumahku. Bahkan ketika kabut turun pun, cerobong asap yang tidak terlalu sering mengeluarkan asapnya itu masih nampak jelas. Arya, sahabatku yang selalu setia megikuti kemana pun aku pergi sekaligus teman berkhayalku, sering mengatakan bahwa di dalam istana batu itu pasti ada seorang pangeran tampan.
Perkataan Arya langsung memberiku ide untuk menyelidiki istana batu itu. Setelah makan siang, aku dan Arya sepakat untuk ke sana. Kebetulan hari ini hari Sabtu, yang bertepatan dengan tanggal merah, jadi kami libur sekolah. Arya membawa tas ransel kecilnya yang sudah lusuh berisi air minum dan beberapa alat pertukangan yang dipinjamnya secara diam-diam dari ayahnya yang seorang tukang bangunan.
Aku memakai kostum kebesaranku, celana pendek, kaos yang lehernya sudah lebar bergambar Doraemon, dan ketapel menggantung di leherku. Aku menguncir tinggi rambut sebahuku. Kami siap untuk berpetualang.
Ibu sering mengeluhkan kelakuanku yang tidak seperti anak perempuan seusiaku di desa kami. Kata ibu, anak perempuan itu seharusya mainannya pasaran, boneka-bonekaan atau lompat tali. Tapi aku justru sibuk berpetualang menjelajah hutan kecil dekat desa bersama Arya. Atau berenang di sungai dangkal dekat air terjun.
Meski aku punya seorang kakak laki-laki dan sahabat laki-laki, sebenarnya aku tidak merasa tomboy, hanya saja aku senang sekali berkhayal melakukan petualangan-petualangan seru, dan Arya sepaham denganku, karena itu kami berdua sangat cocok.
Sebenarnya aku juga suka bermain boneka, tapi sayangnya aku hanya punya satu boneka plastik perempuan yang dibelikan ibu ketika aku berumur lima tahun yang kakinya hanya tinggal satu. Karena itu boneka pertamaku dan satu-satunya, jadi masih kusimpan.